Jakarta, aspirasinusantara.id — Debat tahunan soal pengharaman ucapan selamat Natal terus mencuat setiap Desember. Diskusi yang berulang ini, sayangnya, lebih sering menjadi polemik nir-makna yang tak menawarkan perspektif baru.
Debat ini ibarat ular yang mengejar ekornya sendiri—berputar-putar tanpa tujuan dan tidak konstruktif.
Mengucapkan selamat Natal oleh non-Kristiani sebenarnya adalah bentuk komunikasi sosial yang tak memiliki kandungan teologis. Ucapan ini setara dengan mengucapkan selamat atas momen-momen lain, seperti pernikahan, kelulusan, atau hari besar lainnya.
Namun, kalangan konservatif sering kali memandang ucapan Natal sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan Kristen, yang dianggap berpotensi merusak akidah. Pandangan ini muncul akibat kurangnya pemahaman hermeneutis terhadap makna ucapan tersebut.
Hermeneutika dan Makna Ucapan Natal
Hermeneutika, teori penafsiran yang juga diterapkan pada ucapan manusia, menekankan pentingnya memahami teks berdasarkan konteks ruang dan waktu. Sebagaimana dikupas F. Budi Hardiman dalam buku Seni Memahami, sebuah teks tak bisa dilepaskan dari kondisi sosial, politik, dan budaya ketika teks itu muncul.
Dalam konteks Indonesia, ucapan selamat Natal bukanlah pernyataan teologis, melainkan produk dari pluralitas masyarakat. Secara politis, ucapan semacam ini merupakan bagian dari birokrasi negara dalam menjamin kebebasan beragama.
Pemerintah, misalnya, rutin mengucapkan selamat atas hari raya agama apa pun—baik Idulfitri, Waisak, Nyepi, maupun Natal.
Secara sosial, ucapan ini mencerminkan realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Di tengah pluralitas, ungkapan seperti selamat Natal menjadi cara menjaga hubungan persaudaraan antarumat beragama. Dengan kata lain, ucapan Natal adalah ekspresi toleransi dan harmoni.
Ucapan Natal dan Kehadiran Negara
Ucapan selamat Natal yang tersebar dalam bentuk spanduk atau pesan digital sejatinya menandai kehadiran negara. Negara menunjukkan dukungannya terhadap kebebasan beragama melalui tindakan sederhana ini.
Maka, ucapan selamat Natal yang muncul secara birokratis maupun dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk komunikasi kultural, bukan teologis.
Namun, kelompok konservatif sering kali mengabaikan konteks ini. Mereka memandang ucapan Natal hanya dari sudut teologis. “Mengucapkan selamat Natal itu haram bagi muslim karena berarti mengakui konsep keimanan Kristen,” demikian argumen yang kerap dikemukakan.
Pendekatan semacam ini cenderung menyederhanakan persoalan. Hermeneutika mengajarkan bahwa teks apa pun, termasuk ucapan Natal, sebaiknya ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan budaya.
Akhiri Debat Nirfaedah
Ucapan selamat Natal populer karena amplifikasi media, khususnya media digital. Di era sekarang, ungkapan ini telah menjadi tren yang mencerminkan toleransi antarumat beragama. Namun, perdebatan soal haram atau halal terus terjadi karena ada kelompok yang memaksakan tafsir teologis semata.
Jika ucapan Natal dipahami secara hermeneutis, maka jelas bahwa ini adalah ekspresi kultural dalam masyarakat majemuk. Mengucapkan selamat Natal tidak berkaitan dengan keyakinan atau akidah, tetapi merupakan bentuk basa-basi sosial yang memperkuat harmoni.
Sudah saatnya energi bangsa tidak dihabiskan untuk memperdebatkan hal-hal remeh seperti ini. Alih-alih terus meributkan ucapan Natal, lebih baik fokus pada hal-hal yang lebih substansial untuk membangun kebersamaan di tengah keberagaman. (*)