aspirasinusantara.id — Suasana sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (2/6) tampak berbeda dari biasanya. Kedatangan dua warga asal Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, bersama tim kuasa hukum dari SAA Lawfirm menarik perhatian publik dan media yang hadir. Mereka datang untuk mendampingi Hariyadi (44), warga Desa Tawahan, Kecamatan Juai Halong, yang menggugat sejumlah anak perusahaan tambang dan sawit raksasa Indonesia, termasuk grup Adaro Energy.
Hariyadi tiba bersama kuasa hukumnya, Teten Masduki, SH, serta dua pengacara senior dari PERADI dan PERSADIN, yaitu M. Sholeh Amin, S.H., M.H., dan Iim Abdul Halim, S.H., tepat pukul 10.00 WIB. Sejak gugatan didaftarkan pada 4 September 2024, perkara ini telah menjadi sorotan karena menyangkut dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh lima perusahaan besar dan beberapa instansi pemerintah.
Perusahaan-perusahaan yang digugat antara lain adalah PT Alam Tri Abadi (ATA), PT Laskar Semesta Alam (LSA), PT Sapta Indra Sejati (SIS), PT Semesta Centramas (SCM), dan PT Cakradenta Agung Pertiwi (CAP), yang merupakan bagian dari grup PT Adaro Energy Tbk dan PT Astra Agro Lestari Tbk. Selain itu, gugatan juga menyasar pejabat pemerintah, termasuk Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kepala Kanwil BPN Kalimantan Selatan, serta Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Balangan.
Menurut penjelasan kuasa hukum dari SAA Lawfirm, Hariyadi adalah pemilik sah lahan seluas 133,94 hektar yang berada di wilayah Desa Tawahan dan Sungai Batung. Bukti kepemilikan tersebut berupa 27 Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diwarisinya sejak tahun 1992. Namun, sejak tahun 2016, lahan tersebut dikuasai oleh PT ATA yang memegang HGU No. 5 Tahun 2014, serta PT LSA dan PT SCM yang memiliki Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), dan menunjuk PT SIS sebagai subkontraktor.
Sebelumnya, keluarga Hariyadi sempat menjalin kerja sama dengan PT CAP untuk penanaman kelapa sawit. Namun, kerja sama ini berakhir tanpa hasil dan tanpa kompensasi apa pun kepada pihak keluarga.
“Hariyadi telah berjuang selama 9 tahun mencari keadilan dengan berbagai cara, baik secara nonlitigasi maupun litigasi,” ungkap M. Sholeh Amin, SH, MH. “Kami masih berprasangka baik bahwa ini bisa jadi hanya tindakan oknum, mengingat perusahaan publik sekelas Adaro pasti menjunjung tinggi prinsip Good Corporate Governance yang mengutamakan transparansi, integritas, dan akuntabilitas.”
Dalam sidang hari itu, dua orang saksi dari Kalimantan Selatan turut hadir dan memberikan keterangan yang mendukung posisi Hariyadi. Kedua saksi merupakan warga lokal yang menyaksikan langsung kronologi dan dampak dari permasalahan ini terhadap masyarakat Desa Tawahan dan Sungai Batung.
Sholeh Amin juga membeberkan bahwa kliennya telah mengirimkan 11 surat permohonan ganti rugi sejak 1 Februari 2016 kepada manajemen PT ATA dan PT LSA di wilayah Juai Halong. Semua surat tersebut diterima secara resmi, dan tanda bukti penerimaan masih disimpan oleh Hariyadi. Bahkan, pada 22 Desember 2022, Hariyadi mendatangi langsung kantor pusat Adaro di Gedung Cyber 2, Jalan Rasuna Said, Jakarta—namun tetap tidak mendapat tanggapan.
Ironisnya, kata Sholeh, pihak PT LSA sendiri sebenarnya telah menunjukkan pengakuan tidak langsung atas hak Hariyadi, antara lain dengan mengajukan permohonan izin pengeboran di atas lahan miliknya pada tahun 2019, dan bahkan melakukan pembayaran sebagai bentuk kompensasi. Bukti pembayaran tersebut hingga kini masih disimpan rapi oleh Hariyadi.
“Lebih jauh lagi, bahkan PT LSA telah mengajukan penawaran harga kepada Hariyadi dalam sidang dengar pendapat di kantor DPRD pada tahun 2018,” tambah Sholeh.
Terkait turut tergugatnya pihak Kementerian ATR/BPN, Sholeh menjelaskan bahwa langkah ini diambil sebagai bentuk dorongan terhadap negara untuk bertanggung jawab.
“Perjuangan ini bukan hanya untuk klien kami, tetapi juga untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat yang selama ini terpinggirkan dan dirugikan oleh praktik-praktik korporasi besar. Ini juga sekaligus menuntut pertanggungjawaban dari instansi pemerintah yang diduga lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian izin,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pihaknya telah mengantongi berbagai dokumen yang menunjukkan ketidaksesuaian antara data perizinan di tingkat lokal dan pusat, serta fakta yang ditemukan di lapangan. Semua itu akan dibuktikan dalam sidang lanjutan yang akan digelar dalam waktu dekat.