Jakarta, aspirasinusantara.id – Dalam lanskap geopolitik dan budaya dunia Islam, hubungan antara Uzbekistan dan Indonesia tak sekadar dilandasi kerja sama ekonomi atau diplomatik. Di balik angka perdagangan dan perjanjian antarnegara, ada sesuatu yang lebih mendalam: ikatan spiritual dan persahabatan lintas generasi.
Direktur Pusat Riset Internasional Imam Bukhari, Shovosil Ziyodov, menulis bahwa hubungan kedua bangsa telah lama terjalin, bahkan sebelum Uzbekistan menjadi negara merdeka. Ia mengingatkan kembali bagaimana Presiden pertama Indonesia, Sukarno, dalam kunjungannya ke Uni Soviet pada 1961, secara khusus meminta untuk mengunjungi makam Imam al-Bukhari di Samarkand.
“Jika beliau tidak sampai ke sana, rasanya beliau tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri,” tulis Ziyodov seperti yang diterima redaksi aspirasinusantara, (05/07/2025 ).
Dari Jalur Sutra ke Jejak Sahih Bukhari
Secara geografis, Uzbekistan merupakan jantung Asia Tengah. Ia menjadi simpul penting dalam jaringan Jalur Sutra, penghubung peradaban Timur dan Barat sejak berabad silam. Dari kawasan inilah, lahir para pemikir besar dunia Islam, termasuk Imam al-Bukhari, penyusun Sahih al-Bukhari, kitab hadits paling otoritatif setelah Al-Qur’an.
Tak heran bila banyak Muslim Indonesia memimpikan perjalanan ke Uzbekistan, bukan hanya sebagai pelancong, melainkan sebagai ziarah intelektual dan spiritual. Harapan ini semakin konkret melalui program Umrah+ yang memperluas destinasi ibadah hingga mencakup kota-kota sejarah Islam di Uzbekistan.
Warisan Bersama, Aspirasi Sejalan
Bukan hanya tokoh-tokoh terdahulu, tokoh masa kini pun memperkuat jembatan dua negara ini. Pada September 2024, Megawati Soekarnoputri, Presiden kelima RI, mengunjungi Uzbekistan. Dalam kunjungannya ke Pusat Riset Imam Bukhari, ia menulis dalam buku tamu:
“Imam al-Bukhari adalah ilmuwan besar yang sejak muda telah saya kenal… Ajarannya mendalamkan pemahaman saya terhadap Islam.”
Kunjungan ini disusul dengan pelbagai inisiatif nyata: kerjasama antaruniversitas keislaman, penayangan program Jejak Al-Qur’an oleh TRANS7 dari Uzbekistan, penerbitan versi tiga bahasa Sahih al-Bukhari, hingga rencana pembangunan Taman Presiden Sukarno di Samarkand.
Panggung Diplomasi Budaya
Tak hanya di level pemerintahan, hubungan Uzbekistan dan Indonesia juga tumbuh melalui diplomasi budaya dan kesenian. Indonesia rutin mengirim delegasi seni ke Festival Internasional Sharq Taronalari di Samarkand. Di sisi lain, Uzbekistan mengirim publikasi dan karya ulama klasiknya ke Indonesia, termasuk 73 judul buku dan album tentang Tujuh Wali Besar (Yetti Pir).
Baca Juga: Menelusuri Jejak Ilmu Kalam di Transoxiana: Warisan Ulama Makhuli yang Relevan hingga Kini
Hubungan ini semakin mendalam ketika masjid bergaya arsitektur Uzbekistan dibangun di Cianjur, Jawa Barat, pada 2021. Dalam waktu dekat, akan ditandatangani pula nota kesepahaman antara Kementerian Agama RI dan Komite Urusan Keagamaan Uzbekistan, serta kerja sama wisata ziarah antara Masjid Istiqlal dan Dewan Muslim Uzbekistan.
Menuju Masa Depan yang Terhubung Hati
Ziyodov menegaskan bahwa kerja sama antara Uzbekistan dan Indonesia tidak hanya terjadi karena kepentingan politik, tetapi juga karena kesamaan nilai dan aspirasi. Dua negara berpenduduk Muslim ini dianggap memiliki posisi penting dalam tatanan dunia Islam modern — Uzbekistan sebagai gerbang Asia Tengah, dan Indonesia sebagai pemimpin Asia Tenggara.
“Rakyat kita adalah saudara spiritual, sahabat yang memiliki tujuan dan kepentingan bersama,” tulisnya.
Dalam semangat itu, ia mengutip kembali pernyataan Megawati:
“Suatu saat nanti, seluruh umat manusia akan semakin dekat satu sama lain — terhubung dari hati dan bersatu secara spiritual.” (*)