Menelusuri Jejak Ilmu Kalam di Transoxiana, Warisan Ulama Makhuli yang Relevan hingga Kini

Menelusuri Jejak Ilmu Kalam di Transoxiana: Warisan Ulama Makhuli yang Relevan hingga Kini
Menelusuri Jejak Ilmu Kalam di Transoxiana: Warisan Ulama Makhuli yang Relevan hingga Kini

Jakarta, businessreview.id – Wilayah Transoxiana, yang kini menjadi bagian dari Uzbekistan modern, menyimpan warisan keilmuan Islam yang kaya, termasuk dalam bidang ilmu kalam atau teologi Islam. Salah satu aliran keilmuan penting yang berkembang di kawasan ini adalah tradisi Makhuli, yang banyak berkontribusi dalam menghadapi pemikiran menyimpang (bid‘ah) pada abad pertengahan.

Hal ini diungkapkan oleh Irgash Daminov, Wakil Rektor Akademi Islam Internasional Uzbekistan, dalam sebuah kajian ilmiah mengenai perkembangan pemikiran kalam dan peran para ulama dari keluarga Makhul Nasafi.

Menurut Daminov, Nasaf—sekarang dikenal sebagai Kota Karshi—menjadi salah satu dari delapan pusat ilmu utama pada abad ke-10 hingga 12 M. Di sana, berkembang sejumlah ulama yang dikenal dengan gelar Nasafi, seperti Abu Mu’in Maymun ibn Muhammad al-Makhuli al-Nasafi (1027–1114), yang dijuluki Sayf al-Haqq (Pedang Kebenaran) dan al-Imam al-Zahid.

Rantai Keilmuan yang Terhubung ke Abu Hanifah

Salah satu poin penting dari penelitian Daminov adalah mata rantai sanad keilmuan yang dimiliki para ulama Makhuli. Ilmu yang mereka wariskan bersambung langsung ke Imam Abu Hanifah, melalui murid-murid seperti Muhammad ibn Hasan al-Shaybani dan Abu Sulayman Juzjani.

“Tradisi keilmuan keluarga Makhuli tidak bisa dipisahkan dari jaringan intelektual Hanafi dan Maturidi yang kokoh di Asia Tengah,” tulis Daminov dalam penjelasannya, (07/07/2025).

Ia menyoroti kemungkinan adanya hubungan pengajaran langsung antara Imam Abu Mansur al-Maturidi (w. 944) dan generasi awal ulama Makhuli. Hal ini semakin memperkuat keterkaitan dua arus pemikiran ortodoks Sunni dari mazhab Hanafi tersebut.

Kitab al-Radd: Refutasi terhadap 72 Sekte Menyimpang

Di antara karya paling penting dari tradisi Makhuli adalah Kitab al-Radd ‘ala Ahl al-Bida’ wa al-Ahwa’ al-Zalla al-Mudilla karya Abu Muṭī‘ Makhul ibn Fazl Nasafi. Buku ini merupakan bantahan sistematis terhadap 72 aliran yang dianggap menyimpang, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.

Daminov menyebut bahwa naskah asli kitab tersebut masih tersimpan dalam koleksi Bodleian Library di Oxford, ditulis pada tahun 1143 dan terdiri dari 145 halaman folio.

Karya ini dibagi menjadi enam bagian yang masing-masing mengkaji dua belas sekte seperti Qadariyah, Jahmiyah, Rafidah, Jabriyah, dan Murji’ah. Yang menarik, kitab ini menggunakan pendekatan tekstual (naqliy) dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits yang mudah dipahami dan digunakan dalam diskursus keagamaan praktis.

Relevansi bagi Konteks Kontemporer

Tak sekadar kajian sejarah, Daminov menilai bahwa pemikiran Nasafi masih relevan untuk membentengi masyarakat Muslim dari ideologi radikal modern. Ia menyinggung bahwa sejumlah narasi ekstrem masa kini—seperti jihad individu (fard ‘ayn) dan doktrin takfiri—memiliki akar dalam sekte-sekte abad pertengahan.

“Konsep takfir sebagai senjata ideologi destruktif berasal dari Khawarij dan berkembang lewat kelompok ekstrem lainnya. Kitab al-Radd memberikan argumen tekstual untuk menolak pendekatan semacam ini,” tulis Daminov.

Pengunjung Ma Wara An Nahr IndoFestive 2025 tengah menikmati panorama sejarah hubungan Indonesia- Asia Tengah yang kerap disebut kawasan Transoxiana

Kitab ini juga mengandung nilai penting dalam ilmu kritik sumber (`ilm al-manābi‘) karena mencatat gerakan-gerakan yang kini telah punah dan tidak banyak diulas oleh sumber-sumber sejarah Islam lainnya.

Revitalisasi Warisan Intelektual di Uzbekistan

Di Uzbekistan saat ini, warisan para ulama seperti Abu Mu’in Nasafi semakin mendapatkan perhatian. Kompleks makam dan pusat pembelajaran Nasafi di Karshi telah dipugar dan dijadikan pusat ziarah serta studi ilmu `aqidah. Beberapa karyanya bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Uzbek.

Baca Juga: Jajaki Kerjasama, “Imam Maturidi” Kunjungi PBNU

Dengan demikian, warisan keilmuan ulama Transoxiana tidak hanya menjadi kebanggaan sejarah, tetapi juga sumber rujukan untuk merespons tantangan ideologis modern, terutama dalam memerangi penyimpangan yang mengancam moderasi dan stabilitas umat Islam.

“Apa yang ditulis 1.000 tahun lalu di Nasaf, masih bergema dalam percakapan keilmuan hari ini,” pungkas Daminov. (*)